Apakah cita-citaku
telah tercapai? Mungkin tak seutuhnya.
Tapi hakikatnya impianku bisa terealisasikan bahkan ketika keluar SMA.
Mengamalkan ilmu. Menjadi seorang guru di sebuah sekolah terpadu sampai menjadi
wali kelas kelas 1 SMP. Senang sekali rasanya berada disekeliling anak-anak
yang bersemangat seperti mereka.
“Zul, kelas 7D
wali kelasnya siapa?” Tanya Ibu Evi.
“Itu tuh bu, yang
lagi di depan layar laptop” jawab Sunny sambil menunjukku.
“Oh.. Ibu seneng
ngajar disana. Anak-anaknya aktif” tutur guru matematika itu membuatku semakin
bangga terhadap anak-anak didikku. Hal itu memang didapatkan dengan proses yang
tidak mudah. Untungnya disini siswa berada di asrama sehingga aku bisa memantau
mereka selama 24 jam. Namun tetap saja, dengan adanya kegiatan kuliah dan
tugas-tugas dari sekolah membuatku harus bisa mengatur waktu untuk mereka. Meski
lelah dan letih, semuanya sirna dengan canda dan tawa mereka.
***
Wajahnya tegang
seakan takut. Namun aku tak mengerti, mengapa mereka berani melakukan kesalahan
kalau mereka sudah tahu mereka akan mengalami hal seperti ini.
“Coba jelaskan,
kenapa kalian berani-beraninya janjian dengan lawan jenis!” Tanya guru bagian
pengasuhan kepada tiga orang anak di depanku ini.
Mereka pun
menjawab dengan jujur apa yang terjadi sebenarnya. Hal yang tidak wajar dan
bertolak belakang dengan peraturan di sekolah ini yang memisahkan siswa
laki-laki dan perempuannya.
“Sekarang pakai
kerudung ini selama 3 hari!” pinta bagian pengasuhan sambil memberikan 3
kerudung warna-warni. Kerudung yang menandakan bahwa mereka telah melakukan
pelanggaran.
Kulihat air mata
di pipi mereka. Mungkin dipikirannya, kenapa hal sepele ini harus diberi
sanksi. Tapi, sebenarnya aku iri dengan mereka yang berbanding terbalik dengan
keadaanku ketika seumuran mereka. Kehidupan bebas… Ah, aku tak mau mengingatnya
lagi.
***
“Kamu udah tahu
gak berita kalau anakmu itu majang foto bareng sama seorang laki-laki di
facebook? Aduh, gak nyangka banget yah.. Makanya kalau ngajar tuh jangan cuma
ngajar, tapi harus mendidik!”
Perkataan itu
seakan membakar semua pengorbananku menjadi abu. Apakah ada yang salah dengan
caraku mendidik anak-anak selama ini? Lalu harus bagaimana lagi yang harus aku
perbuat untuk membimbing mereka?
Malam hari setelah
anak-anak belajar aku panggil anak yang bersangkutan tersebut.
“Ada apa bunda?”
Tanya Mia. Seorang yang ku kenal sebagai siswi yang cantik dan pintar kini
berhasil membingungkan pikiranku.
“Kemarin udah
pulang?”
“Iya bunda, abis
check up ke dokter” jawabnya sambil menundukan kepala.
“Lalu ketemuan
sama Riza?”
Mia terkejut
mendengar pertanyaanku.
“Nggak bun, kenapa
bunda nanya gitu?”
“Bunda punya
buktinya kok” Ku perlihatkan ponselku
dengan layar salah satu jejaring sosial. Sebuah foto terpampang jelas
memperlihatkan dua anak manusia tersebut.
Aku menghela nafas
sedalam-dalamnya.
“Mia.. Bunda dari
awal sudah mengerti kalau Mia suka sama seorang laki-laki. Itu wajar. Tapi Mia
harus jaga diri, jangan sampai melanggar aturan seperti ini.”
“Bunda.. itu bukan
Mia yang upload foto itu!” Ujar Mia
disusul dengan tangisannya.
***
Anganku melayang dan tak
sadar menatap sebuah cermin di samping
meja kerjaku. Mengingatkanku pada sebentuk wajah yang empat tahun lalu selalu
berekspresi seperti wajahku saat ini. Wajah yang penuh lelah dan rasa khawatir.
Seketika itu aku langsung memanggil salah satu kontak di ponselku yang bernama
‘My Mother’.
“Assalamu’alaikum..” Kudengar suara lembut itu.
“Wa’alaikumsalam”
“Ada apa teh? Tumben nelpon?” tanyanya heran.
Memang selama ini aku merasa telalu sibuk dengan kegiatanku. Hanya
sekadar bertanya keadaannya pun jarang aku lakukan. Yang ada hanya komunikasi
ketika finansialku sedang berkurang.
“Mah, mendidik anak itu tidak mudah yah?” tanyaku mengingat sikap sebagian anak didikku yang
tak seperti yang akau inginkan.
“Sabar teh.. Tak semua anak itu baik. Mamah juga yang punya tiga
anak beda-beda karakternya. Apalagi teteh yang membimbing 40 anak.” Jelasnya.
“Dari tiga anak mamah salah satunya aku yang bandel” ucapku.
“Dulu bandel, sekarang kan udah baik”
“Mah, maafin aku ya.. Suka gak nurut sama mamah. Sekarang aku baru sadar pengorbanan mamah selama ini.
Ternyata gak semudah yang aku bayangkan.” Kataku dengan linangan air mata yang
sulit untuk berhenti
***
Buah tak jauh dari pohonnya.. Rasanya kalimat ini yang sangat berpengaruh
besar terhadap kekhawatiranku. Apakah karena kesalahan masa laluku? Sehingga
Tuhan membalasnya dengan permasalahanku saat ini?
Pemberontakan dalam hati yang tak hentinya ku rasakan dulu. Tak
habis pikirnya menghadapi pemikiran orangtuaku. Pengertian yang tak pernah ku
dapatkan, membuatku terus saja mengikuti keinginanku.
“Kenapa sih mamah ngambek mulu kalau aku dianterin cowok. Orang
lain mah malah seneng pada diajak jalan-jalan terus sama pacarnya. Lah ini, ada
SMS dari cowok aja HP langsung di segel”
Kali ini aku hanya bisa tersenyum mengingat pemikiran polosku dulu.
Tak bisa kubayangkan bila aku tak mempunyai seorang ibu seperti mamahku. Sikap
tegasnya demi melindungi anaknya membuatku selamat dari pergaulan bebas yang
kini dampaknya dirasakan pahit oleh sebagian temanku.
Satu keajaiban dalam hidup terasa kudapatkan oleh untaian
doa-doanya yang tak pernah berhenti. Kesabarannya meluap pada jalan hidupku
yang berubah 180 derajat. Lingkungan beragama kini telah berusaha menuntunku
dan mencegahku untuk tidak tersesat lagi.
“Tok..Tok..Tok..!” Suara pintu kamar membuyarkan lamunanku.
“Silahkan masuk” pintaku.
Seorang gadis berkerudung warna warni masuk lalu merangkulku.
“Bunda.. Maafin Mia. Mia nyesel. Mulai sekarang Mia bakal nurut
sama apa yang bunda bilang. Gara-gara ini semua belajar jadi gak konsen.
Nilai-nilai Mia jadi nurun”
Layaknya kasih sayang seorang ibu, apapun yang terjadi pada seorang
anaknya dia akan tetap mencintainya. Harapanku hanya satu. Mereka bisa menjadi
generasi yang bermanfaat dan tangguh.
***
Tanganku kini tak lagi lengah dengan tangan kosong. Sebuah kerudung
cantik yang telah terbungkus rapi berada di genggaman. Kususuri pemandangan
indah dan tak sabar mataku berada di salah satu tempat dimana aku memulai
kehidupanku. Dan yang tak kalah penting adalah setumpuk rindu kepada sepasang
manusia beserta malaikat-malaikat kecil didalamya.
Ojeg yang ku naiki menurunkanku tepat di depan rumah bercat hijau
muda. Ku lihat wanita separuh baya sedang menyapu halaman yang kotor oleh daun-daun
berguguran dari pohon mangga.
“Hore.. Teteh pulang..!!” teriak anak kecil menghampiriku.
Sejenak wanita itu pun terhenti dari pekerjaannya. Terlihat binar
matanya sebening kristal memandangku
berdiri.
Wahai ibu.. Inilah buah hatimu. Yang dulu sering menyusahkan dan
tak pernah mengerti akan semua
nasihatmu. Demi kebahagiaanmu aku telah berubah. Menjadi seperti yang kau
minta.
Tetes mataku muncul saat tangan lembut itu aku kecup. Dekapan
hangat yang menembus kedalam jiwa.
Mom I’m grown up now
it’s not too late
I’d like to put a smile in your
face everyday